YOGYAKARTA, KABARMAPEGAA.com--Kamis malam (3/9/19) di Sangkring Art Project, Galeri seni terbuka yang terletak di Jalan Nittiprayan, Ngestiharjo Kasihan, Bantul Yogyakarta itu didatangi 195 orang. Pengunjung yang datang di Sangkring Art Project guna menyaksikan acara pembukaan Pameran MAIRI yang diselenggarakan oleh Kelompok Seni Rupa Udeido.
Seniman yang tergabung dalam Kelompok Seni Rupa Udeido, yakni: Nelson Natkime, Mikael Yan Devis, Yanto Gombo, Brian Suebu, Syam Terrajan, Constantinus Raharusun, Ignasius Dicky Takndare, Betty Adii, Ina Wossiry, Andre Takimai, Lajar Daniartana Hukubun, Freddy Monim, Lutse Lambert, Daniel Morin, Ervance Havefun, Markus Rumbino, Pikonane, Wiliam Kalengkongan, Widya Amir, Loudry Garfield Samnaikubun.
Kunto, pengurus Sangkring Art Project, dalam sambutannya mengatakan, dengan hormat saya mengucapkan selamat kepada teman-teman, saudara-saudara dari Papua yang bisa hadir malam ini untuk mengadakan pameran Mairi.
“Terasa bahagia saya, ketika ruang ini di pilih pertama kali oleh teman-teman Papua untuk mengadakan pameran di Jogja untuk menunjukan kegelisahan mereka tentang masalah-masalah di Papua, tentang segala hal,” jelasnya.
“saya secara pribadi berdoa supaya bisa damai kembali dan bahwa Papua adalah bagian dari kita semuanya,” bebernya dalam sambutan yang dipetik kabarmapegaa.com, Kamis (3/10/2019).
Melalui kegiatan ini, harapnya dapat membuat siapa pun kita untuk mengenal Papua. “Semoga dari pameran ini, membuat kita dapat mengenal lagi bahwa ada kita punya saudara jauh dari Papua,” katanya.
Di tempat yang sama, penulis pameran, Agung Kurniawan mengatakan dengan keterlibatanya dapat mengenal Papua serta para seniman yang telah tergabung dalam Kelompok Seni Rupa Udeido.
“Saya membantu teman-teman Papua untuk membantu menulis pada awalnya kan saya tidak pernah mengenal mereka, semata-mata karena kita terbiasa hidup di pusat sehingga cenderung mengabaikan yang kita lihat. Ketika teman-teman Papua membuat karya, kalau kita tidak hati-hati mereka bisa merebut kursi yang kita kuasai,” katanya dalam sambutan.
Kurniawan menilai, Kelompok Seni Rupa Udeido mempunyai potensi dan semangat untuk membicarakan persoalan-persoalan yang jarang diangkat dalam bentuk seni rupa.
“Seni rupa kita saat ini cenderung mengabaikan hal-hal yang harus dibicarakan. Kita cenderung kepada keindahan, cenderung pada sesuatu yang rumit tapi hal yang mendasar, narasi yang mau di ucapkan itu kita lupakan,” katanya.
Katanya, teman-teman Papua menunjukan refleksi itu, teman-teman Papua mengajak kita harus kembali kepada inti dari kesenian kontenporer, yaitu kritik, kritis dan kemudain melihat kembali subtansi soal-soal. “Itu yang saya kira bisa ambil dari teman-teman dari Papua,” bebernya.
Selanjutnya, mewakili Kelompok Seni Rupa Udedido, Ignasius Dicky Takndare menjelaskan secara singkat tujuan dari pameran seni rupa tersebut.
Kata Ignasius yang akrab di panggil Dicky ini mengenalkan peserta seniman yang terdiri dari 20 orang itu di hadapan pengunjung yang datang. Kata Dicky, 5 peserta seniman didatangkan dari Papua.
“Kami akan mengadakan pameran di sini selama 1 minggu, terhitung tanggal 3-10 Oktober,” jelasnya kepada media ini.
Pada kesempatan itu juga, pihaknya mengucapkan banyak terimakasih kepada Hapin Nederland, yang mendanai kegiatan ini, juga kepada Sangkring Art Project yang telah memberikan tempat, serta pihak-pihak yang telah mendukung menyukseskan kegiatan ini.
Kata dia, kegiatan Pameran Seni Rupa Udeido adalah salah satu gerakan yang betul-betul dilaksanakan secara mandiri.
Tujuan dari kegiatan ini, pihaknya ingin menyampaikan kelu-kesah meraka lewat seni rupa.
“Kami coba sedikit kelu-kesah kami, harapan kami, doa kami. Jadi kisah tentang Mairi ini, kisah yang sangat indah, semua orang berharap untuk sampai ke sana. Dan Seperti yang kita ketahui tanah Papua bertahun-tahun mengalami masalah dan kita seniman pikir kita bisa bikin sesutu, dengan dasar itu kita mengadakan pameran Mairi,” bebernya.
Menurutnya, Pameran Mairi ini kontemplasinya bisa sampai pada setiap yang melihat, karena setiap anda sekalian punya Mairi masing-masing. “Dalam pameran Mairi ini kita membawa spirit doa.”
Selanjutnya, Prof Dwi Marianto, Dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta juga mengapresiasi terlasananya kegiatan seni rupa ini.
“Pameran yang menurut saya sangat bersejarah, yang jelas saya belajar dua hal malam ini. Pertama, Papua bisa dibayangkan seperti kita sedang menuju ke Mairi, ke tempat yang dijanjikan dan kedua, karya seni itu bisa dipakai untuk menjadi sarana mencari daya hidup minimal daya hidup sendiri,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Prof Dwi pun mendapatkan Cindra mata dari kelompok Seni Rupa Udeido. “Cindra mata yang telah diberikan oleh peserta pameran menjadi sebuah hadiah dan pengalaman yang tak pernah saya lupaakan.”
Kemudiai, sambutan terakhir disampaikan oleh Seniman Bapak Heri Dono. Dalam sambutanya mengapresiasi pameran tersebut.
“Pameran kontemporer luar biasa. Saya berharap bahwa penyembuhan seni selain penyembuhan juga adalah doa kritik apapun baik pribadi maupun institusi adalah doa untuk hidup lebih sejahtera, nyaman dan sentosa,” paparnya.
Jadi pangeran ini, Lanjut Heri, dari individu-individu yang ikut pameran, saya melihat bahwa kualitas karya yang sangat luar biasa.
“saya berpikir bahwa jangan-jangan di tanah Papua itu, banyak sekali seniman-seniman yang kita tidak begitu melihatnya dan kita hanya meikirakn hal-hal yang ada di tanah Jawa saja,” katanya.
Lanjutnya, jadi persoalan-persoalan kesenian atau kebudayaan itu sebetulnya sangat lumrah, sangat majemuk dan kita melihat bahwa Papua memiliki potensi dan juga kwalitas, dan juga saya melihat seniman-seniman yang berprestasi.
“Jadi kita melihat bahwa, pameran Mairi ini, jangan hanya ada di Yogyakarta, tetapi harusnya dipamerkan di seluruh kota yang ada di Indonesia,” pintanya.
Heri menambahkan; “Saya kira saudara-saudara kita ini harus kita junjung tinggi dan beri kesempatan supaya seniman-seniman Papua ini muncul di ruang-ruang publik sebagai orang-orang yang memberikan wacana-wacana baru karena mereka adalah orang-orang luar biasa.”
Pantauan kabarmapegaa.com, acara pembukaan dilangsungkan sejak kurang lebih pukul 20.00 WIB. Sesuai daftar hadir, di hari pertama pengunjung yang datang menyaksikan pameran ini sebanyak 195 orang pengunjung. Tidak hanya hanya itu, akhir dari sambutan-sambutan Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Tambrauw Daerah Istimewa Yogyakarta menghadirkan suasana Papua dengan menampilkan tarian adat Serar (Tumbuk Tanah). Namun sebelumnya Heri dan Dwi secara resmi membuka kegiatan ini.
Selain, itu dari Kelompok Seni Rupa Udeido juga menyerakan cindra mata kepada Sangkring Art Project, Seniman Heri Dono dan Prof Dwi berupa seni rupa lukisan motif Papua.
Kemudian di awal pembukaan kegiatan ini, kepada pengunjung, pembawa acara membacakan arti kata MAIRI dan Udeido, Yakni:
Mairi
Mairi adalah sebuah nama tempat dalam kisah rakyat Bintuni yang diceritakan turun temurun dari generasi ke generasi, Mairi adalah sebuah negeri yang indah, sejahtera dan damai, tempat tidak ada lagi air mata dan kedukaan. Untuk menuju Mairi siapapun harus melewati belantara raya di mana apa saja bisa terjadi. Dengan segala tantangan dan rintangannya, ada yang lalu terhilang dan ada yang akhirnya tiba di sana.
Demikianlah kami mencoba melihat kondisi Papua dengan jiwa kisah Mairi ini. Papua juga sedang dalam perjalanan ke Mairi-nya sendiri. Ada begitu banyak masalah dan rintangan yang menghadang di jalan ini. Banyak yang tergoda oleh kenikmatan duniawi, harta, jabatan, dan akhirnya melupakan tujuan awal perjalanan.
Namun sebagaimana dikisahkan dalam dongeng tersebut, kelak kita akan tiba di sana dengan berbagai didikan dan pelajaran, Tanah Papua yang damai dan sejahtera akan terwujud. Pameran seni rupa Mairi adalah wujud pengharapan dan doa untuk Tanah Papua yang lebihbaik. Lewat karya-karya kami apresiator akan diajak untuk merenungkan tiap babak dari perjalanan Papua menuju Mairi yang bisa saja merefleksikan perjalanan tiap individu yang mengkontemplasikan dirinya kedalam kisah ini.
Udeido
Udeido merupakan kumpulan seniman-seniman muda Papua yang aktif berkarya meski ditengah kesibukannya akan studi dan urusan lainnya. Beberapa dari mereka tengah berdomisili dan menimbah ilmu di Yogyakarta dan beberapa menetap di beberapa kota di Papua, seperti Jayapura, dan Fak-Fak.
Kelompok ini dibentuk pada awal tahun 2018 oleh beberapa pemuda dan pemudi Papua yang merasa perlu adanya sebuah komunitas anak-anak Papua yang khusus berkarya dan bereksplorasi di bidang seni rupa. Tidak semua anak-anak muda ini mengenyam pendidikan seni rupa, beberapa diantaranya berkuliah di jurusan lain namun menaruh minat dan aktif berkesenian meski dalam skala yang lebih kecil.
Udeido sendiri adalah sebuah kata dari bahasa Deiyai, yang merupakan rumpun wilayah adat Mee Pago. Akar katanya adalah UDE yang merujuk pada nama sejenis daun, dalam bentuk jamak Ude akan disebut Udeido. Daun ini biasanya digunakan masyarakat Deiyai untuk membalut dan menutup luka, biasanya setelah dibalut dengan daun tersebut, pendarahan yang terjadi akan segera berhenti.
Demikianlah kami memandang kesenian dengan spirit Udeido, yaitu sesuatu yang menyembuhkan, yang menutup luka, yang menghentikan darah. Kita terlampau masuk dalam segala permasalahan dan problema sehari-hari yang membuat kita semua menjadi lelah dan letih, sehingga kami berharap suara-suara yang kami bawa lewatkarya-karya kami memiliki energi dan semangat penyembuh, pemulihan, dan pengharapan akan yang baik.
Untuk diketahui, pameran MAIRI oleh Kelompok Seni Rupa Udeido akan berlangsung selama 1 minggu terhitung sejak 3 – 10 Oktober 2019.
Pewarta: Manfred Kudiai/KM